Minggu, 20 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari.

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.
Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab.
Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.
Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang.

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama.

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,

LN

Syawal Gultom: "Kurikulum 2013 ini adalah Rahmad bagi Guru TIK"

Oleh: M. Syaifullah

Dalam sesi tanya-jawab setelah paparan Prof. Syawal Gultom tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 kembali dipertanyakan nasib guru TIK di kurikulum 2013 oleh Sitti Patimah (Prov. Sulawesi Barat) salah satu peserta Penyegaran Narasumber Nasional Implementasi Kurikulum 2013 Region Surabaya 13-16 April 2014 lalu.

Berikut jawaban Prof. Syawal Gultom (Kepala BPSDMPK & PMP) menanggapi pertanyaan tersebut.

Tidak ada jam pelajaran TIK sebanyak di kurikulum 2013 dan tidak ada arah yang lebih jelas tentang TIK, kecuali kurikulum 2013.

Pertanyaannya sekarang, kenapa kebutuhan akan guru TIK itu sekarang semakin tinggi? Sebab seluruh mata pelajaran wajib menggunakan TIK. Apakah itu bahasa, agama, PKn, IPA, IPS dan seterusnya, wajib menggunakan TIK. Tapi TIK masing-masing punya kekhususannya. Tentu TIK matematika beda dengan TIK IPA, dengan TIK Bahasa begitu juga dengan mata pelajaran lainnya. Jadi bisa dibayangkan jumlah jam mengajar guru TIK banyak di kurikulum  2013, oleh karena itu kurikulum 2013 adalah rahmad bagi guru TIK, karena jam pelajaran akan banyak sekali.

Pertanyaannya: Bagaimana guru TIK yang sekarang mengajar prakarya? Dan bagaimana nasibnya guru TIK yang sekarang sertifikasinya TIK?
Jawabnya sederhana, kalau ada guru TIK yang bukan sarjana TIK dikembalikan ke akar S1 nya. Misalnya: guru TIK itu sebenarnya guru sarjana fisika, aktifnya selama ini menjadi guru TIK, nanti dalam proses 2 tahun ke depan, kita akan tata ulang, dia akan kembali ke fisika.
Bagaimana nasib sertifikasinya? Akan ada resertifikasi. Mulai tahun 2014 ini akan ada kouta resertifikasi. Jadi seperti yang saya bilang, guru TIK yang S1 nya fisika akan resertifikasi guru fisika. Tapi bagaimana nasibnya guru TIK yang latar belakang S1 nya TIK, bisa terus guru TIK mau di SMA atau di SMK. Jadi apa dia? Permennya sedang kita godok untuk menata guru TIK. Guru TIK akan memberikan layanan di sekolah. Tapi untuk siapa? Untuk murid dan guru. Guru-guru lain bisa belajar kepada dia, bagaimana mendesain pembelajaran berbasis TIK?. Jadi jam dia semakin banyak. Nggak usah susah-susah mencari jam mengajar 24 jam.

Jadi kurikulum 2013 itu rahmad bagi guru TIK. Oleh sebab itu jangan risau, karena nasib kita ini ada yang memikirkannya, jadi jangan risau terus.
Maka masa transisinya selama 2 tahun, kalau dapodiknya bermasalah itu yang akan kita perjuangkan, karena ada masa transisinya, sebab kalau diputus pun sekarang juga tidak ada aturannya. Dasarnya kan sudah disertifikasi TIK. Dulu dasarnya ada, oleh karena itu dalam menata hal tersebut ada masa transisinya.

Jadi jelas kan semua, guru TIK yang latar belakang TIK akan jalan terus untuk member layanan TIK di sekolah kepada guru, siswa, dan jangan-jangan ekstrakurikuler juga ada. Tapi guru TIK yang latar belakangnya bukan TIK akan kita kembalikan ke jalan yang benar (disambut tertawa hadirin).

Demikian jawaban Prof. Syawal Gultom, semoga dapat memberikan pencerahan bagi guru TIK yang selama ini risau dengan masa depannya. (iful)