Oleh: Luthfiyah Nurlaela
Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di
Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014
yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan
widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua,
Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa
Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.
Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber
nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013
kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan
melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang
harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada
bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana
Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.
Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan
memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam
presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan
Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua.
Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.
Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013
terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta
pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru
sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan
serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?).
Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada
Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa.
Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa
Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang
hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan
kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai
Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan
gembira.
Dalam sebuah talkshow
di stasiun TV, seorang guru juga
menyampaikan testimoni secara live,
yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun
mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian
terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan
bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk
memahami secara utuh Kurikulum 2013.
Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru
tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman
compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan
implementasi Kurikulum 2013 ini.
Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang
implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih
aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti
ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan.
Begitu juga di Sentani, setting
sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding
kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan.
Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya.
Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum
yang lalu tak ada bagus-bagusnya.
Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang
sebenarnya. Tidak mungkin Wamen yang sudah sangat berpengalaman ini
mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang
terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang
menginspirasi.
Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok
jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI
SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti
apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh
memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun
mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang
sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta
didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan.
Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa
berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan
pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang
diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di
sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka
tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang
tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam
kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan
sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat
mungkin tak peduli.
Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan
'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan
oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi
pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan
kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar
mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan
kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.
Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan
kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan,
terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur
saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala
bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari
keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala
geografis, tidak semudah itu bisa diatasi.
Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum
2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar
Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin,
jumlahnya jauh lebih banyak.
Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi
yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak
terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan
instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas,
namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat
beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur
nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013
menjadi satu bahasa.
Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak
mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas
kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya.
Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan
saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah
bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.
Surabaya, 17 April 2014
Wassalam,
LN