Kamis, 17 Juli 2014

Implementasi Kurikulum Baru Amburadul



JAKARTA - Amburadulnya persiapan implementasi Kurikulum 2013 telah mencapai puncak. Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harris Iskandar mengatakan, kementeriannya saat ini sedang frustasi.
"Bahkan sampai Menterinya (Mendikbud Mohamamd Nuh, red) kurang tidur," katanya kemarin.

Kelemahan persiapan implementasi kurikulum baru yang paling parah ada di sektor pengadaan buku. Hingga tahun ajaran baru dimulai sejak 14 Juli lalu, buku-buku kurikulum baru belum menyebar. Harris mengatakan untur masalah peredaraan buku itu, Kemendikbud tidak bisa disalahkan.

Dia menguraikan bahwa Kemendikbud sudah menyiapkan sistem yang bagus. Yaitu masing-masing kepala sekolah sasaran kurikulum baru langsung memesan buku ke LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
"Harga buku yang dibuat oleh Kemendikbud ini murah sekali. Sekitar tujuh bahkan sepuluh kali lipat lebih murah dibanding buku pelajaran di pasaran," tuturnya.

Harrris mengatakan Kemendikbud segera menginvestigasi kenapa banyak sekolah yang belum memesan buku. Muncul dugaan, sekolah tidak memesan buku terbitan Kemendikbud ini karena hanya akan mendapatkan "capek" saja. Berbeda dengan memesan buku di penerbita umum, kepala sekolah atau guru bisa mendapatkan komisi.

Dia membeber bahwa harga buku kurikulum baru buatan Kemendikbud rata-rata hanya Rp 50 per lembar. Harga ini jauh lebih murah ketimbang buku fotokopian yang rata-rata Rp 100 per lembar. Dengan harga per lembar yang murah itu, Harris mengatakan rata-rata buku kurikulum baru per mata pelajaran hanya di kisaran Rp 10 ribu.

"Saya heran kok masih banyak yang belum pesan. Padahal harganya murah. Uangnya sudah ada di dana BOS dan dana tambahan khusus untuk buku," tandasnya.

Harris mengatakan total kapasitas buku yang bakal didistribusikan adalah 240 juta eksemplar. Rinciannya 123 juta eksemplar untuk jenjang SD, 60 juta eksemplar untuk SMP, dan 57 juta untuk SMA dan SMK. Khusus di jenjang SMA dan SMK, Harris mengatakan buku yang tercetak sudah 60 persen. Sedangkan yang sudah terdistribusi masih 20 persen.

"Jadi bukunya banyak yang ngendon di percetakan. Percetakan tidak punya uang untuk mendistribusikannya," tuturnya. Penyebabnya kepala sekolah atau dinas pendidikan dan kebudayaan tidak disiplin menjalankan jadwa pemesanan buku. Dia menuturkan jika mereka disiplin memesan buku, percetakan tidak akan sampai kekurangan modal.

Mendengar keluhan kekurangan modal itu, Mendikbud Mohammad Nuh sedang mencoba mencari bank yang bisa menyalurkan pinjaman pendanaan kepada percetakan. Cara lainny adalah mencari percetakan lain untuk memecah kewajiban di percetakan yang memenangkan tender pengadaan buku kurikulum baru.

Situasi di Kemendikbud yang tidak kondusif itu, diperparah sejumlah kabar negatif dari beberapa daerah. Ketua Umum Pengurus Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mengatakan, muncul penolakan implementasi Kurikulum 2013 di sejumlah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

"Laporan yang masuk ke PGRI pusat, penolakan ada di Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara," kata dia. Penolakan itu resmi disampaikan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) jenjang SMA dan SMK. Mereka terang-terangan belum siap melaksanakan implementasi kurikulum baru.

Alasannya banyak sekali. Di antaranya adalah buku kurikulum baru yang tidak kunjung sampai, meskipun tahun ajaran baru sudah dimulai. Kemudian banyak guru yang belum dilatih materi kurikulum 2013. Selain itu guru-guru di kelas II SMA dan SMK harus bekerja ekstra karena muridnya ketika di kelas I SMA dan SMK dulu masih menggunakan kurikulum lawas.

Lebih lanjut Harris mengatakan, Kemendikbud sudah mendengar penolakan-penolakan itu. Umumnya penolakan itu didasari dari teknis implementasi kurikulum baru yang tidak sejalan dengan peraturan daerah (perda). "Mereka itu tidak paham hirarki perundang-undangan," jelasnya.

Menurut Harris, perintah implementasi kurikulum baru ini murni di tangan Mendikbud. Tidak ada alasan implementasi kurikulum baru ini bersebrangan dengan perda. Kalaupun ada perbedaan, aturan di perda mengalah karena peraturan Mendikbud lebih tinggi hirarkinya. (wan)
Masalah Dalam Implementasi Kurikulum 2013
(di Tahun Ajaran 2014/2015)
1. Pengadaan hingga pendistribusian buku terlambat.
2. Pencetakan buku terhambat karena percetakan kekurangan modal.
3. Kepala sekolah tidak memesan buku ke percetakan sesuai jadwal.
4. Banyak guru belum mengikuti pelatihan kurikulum baru.
5. Jajaran Kemendikbud frustasi, karena jadwal dan skema yang disusun bubar.
6. Awal tahun ajaran baru sedianya efektif per 14 Juli, diundur per 4 Agustus.
Sumber : JPNN.Com Jumat, 18 Juli 2014 , 05:04:00 (Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 14 Juli 2014

Resensi Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya

Minggu, 13 Juli 2014

Kurikulum Sebagai ’Kendaraan’



SENIN, 14 Juli 2014, kalender akademik pendidikan telah menetapkan sebagai awal dari tahun pelajaran baru jenjang pendidikan dasar dan menengah, tahun momentum dimana Kurikulum 2013 mulai diimplementasikan, secara menyeluruh bertahap. Artinya diimplementasikan disemua sekolah (SD, SMP, SMA, dan SMK), bertahap hanya di kelas 1-2,4,5 SD, 7-8 SMP, dan 10-11 SMA/SMK.
Setahun sudah implementasi Kurikulum 2013 dilakukan. Jika sebelumnya dilakukan secara bertahap, tahun pelajaran ini dilakukan menyeluruh bertahap. Apa maknanya? Kini tidak ada lagi pengecualian bagi sekolah di kelas-kelas itu untuk tidak menerapkan Kurikulum 2013.
Tulisan berikut ingin menegaskan kembali, betapa penting dan strategisnya Kurikulum 2013 didalam menyiapkan generasi mendatang, disamping adanya perubahan-perubahan fundamental seiring dengan diterapkannya Kurikulum 2013. 

Enam Perubahan  
Sedikitnya ada enam perubahan yang dapat dilakukan bersamaan dengan penerapan Kurikulum 2013.
Pertama, terkait dengan penataan sistem perbukuan. Lazim berlaku selama ini, buku ditentukan oleh penerbit, baik menyangkut isi maupun harga, sehingga beban berat dipikul peserta didik dan orang tua. Menyangkut isi, karena keterbatasan wawasan dan kepekaan para penulis, kegaduhan terhadap isi buku pun sering terjadi.
Kini pada Kurikulum 2013, buku wajib, baik untuk peserta didik maupun guru disiapkan Pemerintah (dicetak oleh para penyedia yang ditentukan melalui proses lelang di LKPP), sehingga isi dapat dikendalikan dan kualitas lebih baik, sedang harga bisa ditekan lebih wajar (public awareness).
Dalam model perbukuan seperti inilah maka efisiensi nasional lebih dari 70% terjadi penurunan terhadap harga buku wajib, disisi lain terjaminnya terhadap capaian minimal peserta didik yang diharapkan, sementara guru dapat mempersiapkan diri dalam kegiatan proses belajar-mengajar lebih mudah, termasuk pelatihan bisa lebih terarah, sedang orang tua dapat melakukan penghematan pendanaan sekolah bagi anaknya. 
Dimana peran penerbit dan percetakan? Karena Pemerintah hanya menyediakan buku pegangan wajib, maka peran penerbit ada pada penyediaan buku-buku pengayaan. Sementara percetakan, sebagai penyedia yang ikut dalam lelang terbuka sebagai percetakan penyedia untuk melayani daerah-daerah yang telah ditentukan. Pada semester satu ini, ada 31 penyedia yang telah ditentukan untuk mencetak sebanyak 245 juta lebih eksemplar buku jenjang SD, SMP, SMA dan SMK.
Buku wajib yang disiapkan Pemerintah berbasis aktivitas untuk semua jenjang sekolah, terutama untuk jenjang SD, dimana tiap pembahasan menggunakan pendekatan kontekstual (idealnya transdisipliner), agar bisa mengajak peserta didik untuk mencari tahu berdasarkan konteks pembahasannya, dimana tiap pembahasan mencakup tiga ranah kompetensi: pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tiap bab/tema memuat satu atau lebih projek untuk dikerjakan dan disajikan (baca: dikomunikasikan) siswa.
Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di dalam penyiapan dan pengadaan guru. Kurikulum 2013 dengan pendekatan tematik-terpadu di tingkat SD, dan pengintegrasian mata pelajaran IPA maupun IPS dalam satu platform di SMP, serta adanya kontribusi tiap mata pelajaran terhadap sikap peserta didik, maka LPTK pun “wajib” hukumnya melakukan reorientasi atau penataan, agar guru yang dihasilkan, sesuai dengan tuntutan pada Kurikulum 2013. Selama ini, kerap terjadi, jalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi, sehingga banyak lulusan LPTK yang tidak terserap dengan kebutuhan sekolah atau banyak guru yang mengampu mata pelajaran tidak sesuai dengan apa yang ditekuninya di bangku kuliah.
Ketiga, penataan terhadap pola pelatihan guru. Pengalaman pada pelaksanaan pelatihan instruktur nasional dan guru sasaran untuk implementasi Kurikulum 2013, misalnya, banyak pendekatan pelatihan yang harus disesuaikan, baik menyangkut materi pelatihan maupun modelnya.
Momentum Kurikulum 2013 adalah hal yang tepat untuk melakukan penataan terhadap pola pelatihan guru termasuk penjenjangan terhadap karir guru dan kepangkatannya, serta kesejahteraan.
Pemerintah sekarang telah merintis pengembangan guru dengan model pendekatan “segitiga sama sisi”. Alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sisi kanannya pengukuran dan peningkatan kinerja; dan sisi satunya, peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah “bangunan” segitiga, maka tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh.
Keempat, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK). Kurikulum 2013, yang menekankan pada pendekatan capaian kompetensi peserta didik didalamnya mensyaratkan pengintegrasian tiga ranah pendidikan antara kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Selama ini, ketiganya berjalan terpisah, padahal semestinya utuh dalam satu kesatuan.
Terhadap guru BK, karena penjurusan di jenjang SMA sudah tidak ada lagi, diganti dengan peminatan yang dimulai sejak kelas X, maka peran guru BK (terutama di SMP) menjadi sangat penting dalam hal memberikan wawasan terhadap peminatan yang harus dipilih peserta didik.
Pramuka menjadi bagian kegiatan ekstra kuriukuler wajib disetiap jenjang. Ini perubahan kelima terkait dengan memperkuat NKRI. Melalui kegiatan ekstra kurikuler kepramukaanlah, peserta didik diharapkan mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya.
Keenam, ini juga masih terkait dengan hal kelima, memperkuat intergrasi pengetahuan-bahasa-budaya. Pada Kurikulum 2013, peran bahasa Indonesia menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber komptensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, dengan cara ini, maka pembelajaran Bahasa Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini.

Membangun Masyarakat
Keenam perubahan ikutan itulah kiranya jawaban yang pas terhadap pertanyaan, kenapa Pemerintah seolah berkejaran dengan waktu didalam mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Bangsa ini, dengan segala kekiniannya, membutuhkan “kendaraan” Kurikulum 2013 untuk menata berbagai aspek melalui sektor pendidikan. Karena begitu pentingnya Kurikulum 2013, maka kurikulum ini sesungguhnya bukan kurikulum program Kementerian, tapi kurikulum yang menjadi program Pemerintah. Kurikulum yang bukan hanya untuk menyiapkan dan membangun secara personal peserta didik dalam tiga aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan, melainkan kurikulum yang disiapkan untuk membangun masyarakat dan membangun peradaban, sehingga menjadi bangsa yang efektif didalam menghindari tiga penyakit sosial; kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan peradaban.
Itu sebabnya, Kurikulum 2013 juga menekankan betapa pentingnya penerapan pendidikan karakter, dalam kerangka membentuk insan yang bermartabat dan berwibawa.
Kondisi aktual berkait dengan kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan kenakalan remaja, serta maraknya praktik ketidakjujuran, telah mendorong Kurikulum 2013 untuk memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti.
Karena tiap mata pelajaran memberikan kontribusi terhadap sikap, pemgetahuan dan keterampilan, maka pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti bukan menjadi tanggungjawab guru pengampu mata pelajaran itu, tapi tanggungjawab bersama. Artinya, pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti, tidak hanya diajarkan secara normatif, melainkan lebih ke fungsional dan implementatif.
Fakta-fakta inilah yang harus dijadikan momentum perubahan dalam implementasi Kurikulum 2013. Pada titik inilah Kurikulum 2013 sebagai “kendaraan” menemukan pembenar.
Dalam hal pembelajaran temati-terpadu di tingkat SD, untuk menyebutkan sekadar contoh, begitu amat penting, karena  hasil penelitian menunjukkan, bahwa anak melihat dunia sebagai suatu keutuhan yang terhubung, bukannya penggalan-penggalan lepas dan terpisah.
Itu sebabnya mata pelejaran-mata pelejaran (mapel) sekolah dasar dengan definisi kompetensi berbeda menghasilkan banyak keluaran yang sama. Ke depan keterkaitan satu sama lain antar mapel-mapel SD akan menyebabkan keterpaduan konten pada berbagai mapel, dan ke depannya lagi, siswa akan terbiasa  mengaitkan antar mapel untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa, sebagai modal membangun masyarakat. Semoga! (***)

oleh: Sukemi (Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media)