Selasa, 30 September 2014

Kurikulum 2013: Target Implementasi yang Terlalu Ambisius

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Siang ini, saya sedang nunggu boarding di Bandara Frans Seda, Maumere. Saya membuka tab, cek email, FB, dan baca-baca. 

Sebuah artikel di Kompasiana berjudul 'Kemdikbud: Nafsu Gede, Stamina Memble', menarik perhatian saya. Sebelum membaca isinya, saya coba tebak, ini pasti tentang Kurikulum 2013.

Ternyata benar. Artikel yang ditulis Mochamad Syafei itu berbicara tentang K-13 yang fonomenal itu. Fenomenal karena 'kehebatannya.'

Betapa tidak. Kemdikbud manargetkan pada awal masuk sekolah 14 Juli 2014, K-13 harus sudah diimplementasikan. Artinya, semua guru sudah dilatih, buku-buku sudah didrop di semua sekolah, dan oleh sebab itu, 'siap tidak siap, bisa tidak bisa, K-13 harus jalan'.

Padahal, kenyataannya, tidaklah seperti itu. Tanggal 6-7 Juni yang lalu, saya diundang ke Kupang, sebagai narasumber untuk workshop K-13. Saya menyiapkan materi selengkap mungkin, meski saya berharap, saya tidak harus memulai dari awal ketika bicara tentang K-13. Artinya, saya berharap, para peserta workshop sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup memadai tentang rasional K-13, elemen perubahan, pola pikir, dan hal-hal lain yang terkait dengan konsep. Saya berharap, saya bisa langsung berdiskusi tentang sistem pembelajaran dan penilaian dalam K-13, dan ada cukup banyak waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Para peserta itu, sebanyak sekitar 100 peserta, yang terdiri dari guru SD, SMP, SMA dan SMK, yang datang dari segala penjuru Kabupaten Kupang, mayoritas belum paham K-13 bahkan pada tataran konsepnya. Jadilah dua hari itu kami berdiskusi intens tentang konsep K-13 sampai kepada sistem pembelajaran dan penilaian. Tidak terlalu cukup waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Sekitar dua minggu setelah itu, saya rapat di Dikti, Jakarta, bersama UKMP3 (Unit Kerja Menteri Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit khusus menteri ini meminta kami terlibat dalam monitoring implementasi K-13, dengan melibatkan para peserta SM-3T yang bertugas di berbagai pelosok Indonesia dan para peserta PPG yang sedang ber-PPL di berbagai sekolah di kota-kota di Indonesia juga. 

Waktu itu, wakil dari UKMP3 menegaskan, bahwa semua guru sudah dilatih dan semua buku sudah didrop.
"Apa?" Saya spontan bertanya. "Tidak mungkin." 
"Diasumsikan begitu, Bu. Sesuai target yang dicanangkan oleh Kemdikbud."
"Diasumsikan?" Saya balik bertanya lagi. Saya mau melanjutkan kalimat saya "itu asumsi yang super ngawur", saya tahan. Saya perhalus kalimat saya, "Itu asumsi yang jauh dari kenyataan." Terbayang dalam benak saya, betapa K-13 itu bahkan sama sekali belum menyentuh semua daerah 3T yang pernah saya kunjungi pada bulan-bulan belakangan ini.
"Ya, untuk itulah, Bu, kami perlu lakukan monitoring ini."

Kemarin, saya diundang sebagai narasumber workshop K-13 di Maumere. Pesertanya sekitar 150 guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK. 

Sebagaimana harapan saya ketika saya diundang di Kupang, saya bisa langsung berbicara tentang sistem pembelajaran dan penilaian, serta pengisian rapor. Apa lagi sebelumnya, panitia sudah memberi tahu, bahwa guru-guru yang akan mengikuti pelatihan sebagian besar sudah menerima sosialisasi dan pelatihan K-13. Mereka hanya merasa kesulitan pada sistem penilaian dan pengisian rapor.

Tapi harapan saya, lagi-lagi, tinggal harapan. Meski saya paksakan, guru-guru itu tidak akan nyambung kalau saya langsung bicara tentang sistem penilaian. Bagaimana tidak. Ketika saya tanya, 'Apa KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4', hanya sebagian kecil saja guru yang bisa menjawab. Bahkan pengetahuan awal mereka tentang K-13 lebih minim daripada guru-guru di Kupang, yang saya latih sekitar sebulan yang lalu.

Sebagian kecil dari peserta itu mempelajari K-13 saat PLPG tahun 2013, sebagian kecil mengikuti sosialisasi singkat, sebagian besar belum pernah menerima informasi apa pun lewat sosialisai maupun pelatihan. Ada satu dua yang mencoba belajar dari internet. Dari seluruh peserta tersebut, belum ada satu pun dari sekolah mereka yang sudah mendapatkan dropping buku-buku K-13.

Benar memang yang dikatakan banyak orang, yang saya alami, yang saya lihat. Kemdibud terlalu ambisius dengan target implementasi K-13 ini. Para pakar dan tim yang diandalkan untuk menyusun dan memastikan implementasi K-13 tentulah orang-orang yang tak diragukan kapasitasnya. Namun kondisi di lapangan dengan berbagai kendalanya nampaknya tidak terlalu cermat diperhitungkan. 


Entah apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita setelah ini.


Bandara Frans Seda, Maumere, 17 Juli 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 05 September 2014

Musliar Kasim: "Terjadinya berbagai kendala dalam penerapan Kurikulum 2013 (K-13) bukan berarti kurikulum itu gagal".

Para pembaca,inilah berita dari Metronews tentang pendapat Musliar Kasim terkait kurikulum 2013.Metrotvnews.com, Jakarta: Terjadinya berbagai kendala dalam penerapan Kurikulum 2013 (K-13) bukan berarti kurikulum itu gagal. Kemendikbud telah bekerja keras menyukseskan berjalannya kurikulum tersebut.
"Kiranya dapat difahami, dalam implementasinya tahun pertama terkadang memang belum akan mencapai sempurna semuanya.Insya allah pada waktunya akan bagus. Melihat sebagian kecil dari para pengamat itu,terus terang saya merasa sedih, jika ada yang memojokkan dan membangun image K-13 jelek. Berita itu menyesatkan dan dapat dianggap benar bagi orang yang tidak faham," kata Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim melalui surat elektroniknya kepada Media Indonesia, menanggapi kritik pengamat pendidikan dan ICW yang menilai K-13 bermasalah serta mendekati kegagalan.
Sekali lagi, kata Musliar, dia merasa sedih karena ada pemikiran yang mengarah pada pembatalan kurikulum.
"Dapat saya nyatakan ,kita belum pernah punya kurikulum sebagus ini. K-13 bisa selesai karena kami membuatnya dengan sepenuh hati dengan mengumpulkan para ahli.kami lakukan tak mengenal lelah,seluruh staf Kemenndikbud bekerja siang malam," ujarnya.
Lebih lanjut, mantan Rektor Universitas Andalas Padang itu mengatakan, belum pernah ada K-13 yang disiapkan seperti ini sejak dulu. "Andaikata kita cermati apakah Kurikulum yang lama sudah berhasil? Jika berhasil, pasti pendidikan kita sudah maju. Saya menyampaikan ini di akhir masa jabatan saya semoga Allah memberikan yang terbaik bagi bangsa," tandasnya.
Dalam kesempatan itu, Musliar menanggapi pernyataan pengamat pendidikan Darmaningtyas yang dimuat di Harian Media Indonesia (Rabu,27/8) yang menyebutkan tematik integratif K-13 sulit diterapkan.
"Saya kira, itu sumir. Faktanya, contoh guru di daerah pedalaman Kutai Timur justru dapat melakukannya dengan sangat baik," ungkapnya.
Ia juga mengomentari pernyataan ICW yang menilai K-13 mengalami kegagalan. "Pertanyaanya, apakah kriteria kegagalan itu hanya ditinjau satu aspek? Bukankah sebuah keberhasilan itu multi aspek. Jika ada kekurangan maka kekurangan itu yang harus segera diperbaiki," imbuh Musliar.
Ia mengakui pada implementasi K-13 saat ini memang sebagian buku belum tiba di sekolah namun ia meminta jangan hanya dilihat keterlambatan buku tetapi agar dilihat upaya kontigensinya.
"Kami sudah mengirimkan cakram (cd) berisi buku teks pelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajar di sekolah," pungkas Musliar. (Syarief Oebaidillah

Kamis, 17 Juli 2014

Implementasi Kurikulum Baru Amburadul



JAKARTA - Amburadulnya persiapan implementasi Kurikulum 2013 telah mencapai puncak. Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harris Iskandar mengatakan, kementeriannya saat ini sedang frustasi.
"Bahkan sampai Menterinya (Mendikbud Mohamamd Nuh, red) kurang tidur," katanya kemarin.

Kelemahan persiapan implementasi kurikulum baru yang paling parah ada di sektor pengadaan buku. Hingga tahun ajaran baru dimulai sejak 14 Juli lalu, buku-buku kurikulum baru belum menyebar. Harris mengatakan untur masalah peredaraan buku itu, Kemendikbud tidak bisa disalahkan.

Dia menguraikan bahwa Kemendikbud sudah menyiapkan sistem yang bagus. Yaitu masing-masing kepala sekolah sasaran kurikulum baru langsung memesan buku ke LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
"Harga buku yang dibuat oleh Kemendikbud ini murah sekali. Sekitar tujuh bahkan sepuluh kali lipat lebih murah dibanding buku pelajaran di pasaran," tuturnya.

Harrris mengatakan Kemendikbud segera menginvestigasi kenapa banyak sekolah yang belum memesan buku. Muncul dugaan, sekolah tidak memesan buku terbitan Kemendikbud ini karena hanya akan mendapatkan "capek" saja. Berbeda dengan memesan buku di penerbita umum, kepala sekolah atau guru bisa mendapatkan komisi.

Dia membeber bahwa harga buku kurikulum baru buatan Kemendikbud rata-rata hanya Rp 50 per lembar. Harga ini jauh lebih murah ketimbang buku fotokopian yang rata-rata Rp 100 per lembar. Dengan harga per lembar yang murah itu, Harris mengatakan rata-rata buku kurikulum baru per mata pelajaran hanya di kisaran Rp 10 ribu.

"Saya heran kok masih banyak yang belum pesan. Padahal harganya murah. Uangnya sudah ada di dana BOS dan dana tambahan khusus untuk buku," tandasnya.

Harris mengatakan total kapasitas buku yang bakal didistribusikan adalah 240 juta eksemplar. Rinciannya 123 juta eksemplar untuk jenjang SD, 60 juta eksemplar untuk SMP, dan 57 juta untuk SMA dan SMK. Khusus di jenjang SMA dan SMK, Harris mengatakan buku yang tercetak sudah 60 persen. Sedangkan yang sudah terdistribusi masih 20 persen.

"Jadi bukunya banyak yang ngendon di percetakan. Percetakan tidak punya uang untuk mendistribusikannya," tuturnya. Penyebabnya kepala sekolah atau dinas pendidikan dan kebudayaan tidak disiplin menjalankan jadwa pemesanan buku. Dia menuturkan jika mereka disiplin memesan buku, percetakan tidak akan sampai kekurangan modal.

Mendengar keluhan kekurangan modal itu, Mendikbud Mohammad Nuh sedang mencoba mencari bank yang bisa menyalurkan pinjaman pendanaan kepada percetakan. Cara lainny adalah mencari percetakan lain untuk memecah kewajiban di percetakan yang memenangkan tender pengadaan buku kurikulum baru.

Situasi di Kemendikbud yang tidak kondusif itu, diperparah sejumlah kabar negatif dari beberapa daerah. Ketua Umum Pengurus Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mengatakan, muncul penolakan implementasi Kurikulum 2013 di sejumlah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

"Laporan yang masuk ke PGRI pusat, penolakan ada di Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara," kata dia. Penolakan itu resmi disampaikan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) jenjang SMA dan SMK. Mereka terang-terangan belum siap melaksanakan implementasi kurikulum baru.

Alasannya banyak sekali. Di antaranya adalah buku kurikulum baru yang tidak kunjung sampai, meskipun tahun ajaran baru sudah dimulai. Kemudian banyak guru yang belum dilatih materi kurikulum 2013. Selain itu guru-guru di kelas II SMA dan SMK harus bekerja ekstra karena muridnya ketika di kelas I SMA dan SMK dulu masih menggunakan kurikulum lawas.

Lebih lanjut Harris mengatakan, Kemendikbud sudah mendengar penolakan-penolakan itu. Umumnya penolakan itu didasari dari teknis implementasi kurikulum baru yang tidak sejalan dengan peraturan daerah (perda). "Mereka itu tidak paham hirarki perundang-undangan," jelasnya.

Menurut Harris, perintah implementasi kurikulum baru ini murni di tangan Mendikbud. Tidak ada alasan implementasi kurikulum baru ini bersebrangan dengan perda. Kalaupun ada perbedaan, aturan di perda mengalah karena peraturan Mendikbud lebih tinggi hirarkinya. (wan)
Masalah Dalam Implementasi Kurikulum 2013
(di Tahun Ajaran 2014/2015)
1. Pengadaan hingga pendistribusian buku terlambat.
2. Pencetakan buku terhambat karena percetakan kekurangan modal.
3. Kepala sekolah tidak memesan buku ke percetakan sesuai jadwal.
4. Banyak guru belum mengikuti pelatihan kurikulum baru.
5. Jajaran Kemendikbud frustasi, karena jadwal dan skema yang disusun bubar.
6. Awal tahun ajaran baru sedianya efektif per 14 Juli, diundur per 4 Agustus.
Sumber : JPNN.Com Jumat, 18 Juli 2014 , 05:04:00 (Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 14 Juli 2014

Resensi Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya

Minggu, 13 Juli 2014

Kurikulum Sebagai ’Kendaraan’



SENIN, 14 Juli 2014, kalender akademik pendidikan telah menetapkan sebagai awal dari tahun pelajaran baru jenjang pendidikan dasar dan menengah, tahun momentum dimana Kurikulum 2013 mulai diimplementasikan, secara menyeluruh bertahap. Artinya diimplementasikan disemua sekolah (SD, SMP, SMA, dan SMK), bertahap hanya di kelas 1-2,4,5 SD, 7-8 SMP, dan 10-11 SMA/SMK.
Setahun sudah implementasi Kurikulum 2013 dilakukan. Jika sebelumnya dilakukan secara bertahap, tahun pelajaran ini dilakukan menyeluruh bertahap. Apa maknanya? Kini tidak ada lagi pengecualian bagi sekolah di kelas-kelas itu untuk tidak menerapkan Kurikulum 2013.
Tulisan berikut ingin menegaskan kembali, betapa penting dan strategisnya Kurikulum 2013 didalam menyiapkan generasi mendatang, disamping adanya perubahan-perubahan fundamental seiring dengan diterapkannya Kurikulum 2013. 

Enam Perubahan  
Sedikitnya ada enam perubahan yang dapat dilakukan bersamaan dengan penerapan Kurikulum 2013.
Pertama, terkait dengan penataan sistem perbukuan. Lazim berlaku selama ini, buku ditentukan oleh penerbit, baik menyangkut isi maupun harga, sehingga beban berat dipikul peserta didik dan orang tua. Menyangkut isi, karena keterbatasan wawasan dan kepekaan para penulis, kegaduhan terhadap isi buku pun sering terjadi.
Kini pada Kurikulum 2013, buku wajib, baik untuk peserta didik maupun guru disiapkan Pemerintah (dicetak oleh para penyedia yang ditentukan melalui proses lelang di LKPP), sehingga isi dapat dikendalikan dan kualitas lebih baik, sedang harga bisa ditekan lebih wajar (public awareness).
Dalam model perbukuan seperti inilah maka efisiensi nasional lebih dari 70% terjadi penurunan terhadap harga buku wajib, disisi lain terjaminnya terhadap capaian minimal peserta didik yang diharapkan, sementara guru dapat mempersiapkan diri dalam kegiatan proses belajar-mengajar lebih mudah, termasuk pelatihan bisa lebih terarah, sedang orang tua dapat melakukan penghematan pendanaan sekolah bagi anaknya. 
Dimana peran penerbit dan percetakan? Karena Pemerintah hanya menyediakan buku pegangan wajib, maka peran penerbit ada pada penyediaan buku-buku pengayaan. Sementara percetakan, sebagai penyedia yang ikut dalam lelang terbuka sebagai percetakan penyedia untuk melayani daerah-daerah yang telah ditentukan. Pada semester satu ini, ada 31 penyedia yang telah ditentukan untuk mencetak sebanyak 245 juta lebih eksemplar buku jenjang SD, SMP, SMA dan SMK.
Buku wajib yang disiapkan Pemerintah berbasis aktivitas untuk semua jenjang sekolah, terutama untuk jenjang SD, dimana tiap pembahasan menggunakan pendekatan kontekstual (idealnya transdisipliner), agar bisa mengajak peserta didik untuk mencari tahu berdasarkan konteks pembahasannya, dimana tiap pembahasan mencakup tiga ranah kompetensi: pengetahuan, keterampilan, sikap, dan tiap bab/tema memuat satu atau lebih projek untuk dikerjakan dan disajikan (baca: dikomunikasikan) siswa.
Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di dalam penyiapan dan pengadaan guru. Kurikulum 2013 dengan pendekatan tematik-terpadu di tingkat SD, dan pengintegrasian mata pelajaran IPA maupun IPS dalam satu platform di SMP, serta adanya kontribusi tiap mata pelajaran terhadap sikap peserta didik, maka LPTK pun “wajib” hukumnya melakukan reorientasi atau penataan, agar guru yang dihasilkan, sesuai dengan tuntutan pada Kurikulum 2013. Selama ini, kerap terjadi, jalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi, sehingga banyak lulusan LPTK yang tidak terserap dengan kebutuhan sekolah atau banyak guru yang mengampu mata pelajaran tidak sesuai dengan apa yang ditekuninya di bangku kuliah.
Ketiga, penataan terhadap pola pelatihan guru. Pengalaman pada pelaksanaan pelatihan instruktur nasional dan guru sasaran untuk implementasi Kurikulum 2013, misalnya, banyak pendekatan pelatihan yang harus disesuaikan, baik menyangkut materi pelatihan maupun modelnya.
Momentum Kurikulum 2013 adalah hal yang tepat untuk melakukan penataan terhadap pola pelatihan guru termasuk penjenjangan terhadap karir guru dan kepangkatannya, serta kesejahteraan.
Pemerintah sekarang telah merintis pengembangan guru dengan model pendekatan “segitiga sama sisi”. Alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sisi kanannya pengukuran dan peningkatan kinerja; dan sisi satunya, peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah “bangunan” segitiga, maka tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh.
Keempat, memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK). Kurikulum 2013, yang menekankan pada pendekatan capaian kompetensi peserta didik didalamnya mensyaratkan pengintegrasian tiga ranah pendidikan antara kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Selama ini, ketiganya berjalan terpisah, padahal semestinya utuh dalam satu kesatuan.
Terhadap guru BK, karena penjurusan di jenjang SMA sudah tidak ada lagi, diganti dengan peminatan yang dimulai sejak kelas X, maka peran guru BK (terutama di SMP) menjadi sangat penting dalam hal memberikan wawasan terhadap peminatan yang harus dipilih peserta didik.
Pramuka menjadi bagian kegiatan ekstra kuriukuler wajib disetiap jenjang. Ini perubahan kelima terkait dengan memperkuat NKRI. Melalui kegiatan ekstra kurikuler kepramukaanlah, peserta didik diharapkan mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya.
Keenam, ini juga masih terkait dengan hal kelima, memperkuat intergrasi pengetahuan-bahasa-budaya. Pada Kurikulum 2013, peran bahasa Indonesia menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber komptensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia, dengan cara ini, maka pembelajaran Bahasa Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini.

Membangun Masyarakat
Keenam perubahan ikutan itulah kiranya jawaban yang pas terhadap pertanyaan, kenapa Pemerintah seolah berkejaran dengan waktu didalam mengimplementasikan Kurikulum 2013.
Bangsa ini, dengan segala kekiniannya, membutuhkan “kendaraan” Kurikulum 2013 untuk menata berbagai aspek melalui sektor pendidikan. Karena begitu pentingnya Kurikulum 2013, maka kurikulum ini sesungguhnya bukan kurikulum program Kementerian, tapi kurikulum yang menjadi program Pemerintah. Kurikulum yang bukan hanya untuk menyiapkan dan membangun secara personal peserta didik dalam tiga aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan, melainkan kurikulum yang disiapkan untuk membangun masyarakat dan membangun peradaban, sehingga menjadi bangsa yang efektif didalam menghindari tiga penyakit sosial; kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan peradaban.
Itu sebabnya, Kurikulum 2013 juga menekankan betapa pentingnya penerapan pendidikan karakter, dalam kerangka membentuk insan yang bermartabat dan berwibawa.
Kondisi aktual berkait dengan kekerasan seksual terhadap anak usia sekolah dan kenakalan remaja, serta maraknya praktik ketidakjujuran, telah mendorong Kurikulum 2013 untuk memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti.
Karena tiap mata pelajaran memberikan kontribusi terhadap sikap, pemgetahuan dan keterampilan, maka pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti bukan menjadi tanggungjawab guru pengampu mata pelajaran itu, tapi tanggungjawab bersama. Artinya, pendidikan karakter dan mata pelajaran agama dan budi pekerti, tidak hanya diajarkan secara normatif, melainkan lebih ke fungsional dan implementatif.
Fakta-fakta inilah yang harus dijadikan momentum perubahan dalam implementasi Kurikulum 2013. Pada titik inilah Kurikulum 2013 sebagai “kendaraan” menemukan pembenar.
Dalam hal pembelajaran temati-terpadu di tingkat SD, untuk menyebutkan sekadar contoh, begitu amat penting, karena  hasil penelitian menunjukkan, bahwa anak melihat dunia sebagai suatu keutuhan yang terhubung, bukannya penggalan-penggalan lepas dan terpisah.
Itu sebabnya mata pelejaran-mata pelejaran (mapel) sekolah dasar dengan definisi kompetensi berbeda menghasilkan banyak keluaran yang sama. Ke depan keterkaitan satu sama lain antar mapel-mapel SD akan menyebabkan keterpaduan konten pada berbagai mapel, dan ke depannya lagi, siswa akan terbiasa  mengaitkan antar mapel untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa, sebagai modal membangun masyarakat. Semoga! (***)

oleh: Sukemi (Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media)

Selasa, 06 Mei 2014

Muhammad Nuh: Konversi Guru TIK Tidak Menghilangkan Hak Dasar Guru

Kepulauan Seribu, Kemdikbud - Dihapusnya mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jenjang SD-SMA dari Kurikulum 2013 menimbulkan pro dan kontra di kalangan guru. Sebagian dari mereka mempertanyakan bagaimana nasib guru TIK, ketika mata pelajaran TIK tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan, ia telah berdiskusi dengan perwakilan yang mengatasnamakan Asosiasi Guru TIK Nasional, pada 2 Mei lalu, yang bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Dalam dialog tersebut ada tiga wilayah yang dibahas bersama.

“Pertama, mereka sadar bahwa selama ini siswa membawa buku terlalu banyak ke sekolah, karena mata pelajarannya memang banyak,”kata Mendikbud saat memberi keterangan pers usai sidak pelaksanaan ujian nasional jenjang SMP di Kepulauan Seribu, Senin (05/05/2014).

Kedua, dalam mendidik harus dilihat tujuannya. Apa yang diharapkan pada lulusan SD, SMP, dan SMA. Setelah ditetapkan obyeknya, kata dia, baru ditetapkan kebutuhan materi yang akan diberikan kepada siswa.

Dalam kasus guru TIK, Mendikbud menjelaskan, kompetensi yang dimiliki guru TIK tentu tidak sebatas ilmu komputer saja. Karena untuk menjadi lulusan dengan kompetensi ilmu komputer, guru pasti dibekali ilmu dasar lainnya. “Itulah mengapa, bisa gurunya dikonversi ke mata pelajaran lain, yang penting hak-hak dasar yang melekat pada guru TIK itu tidak hilang,” katanya.


Selain dengan konversi ke mata pelajaran lain, penempatan guru TIK bisa dengan memasukkan mata pelajaran TIK dalam muatan lokal. Sekolah, kata Mendikbud, bisa menambah muatan lokal TIK. “Yang jelas tidak ada PHK untuk guru TIK. Nyari guru aja susah, yang ada malah mau diPHK. Tentu tidak seperti itu,” pungkasnya. (Aline Rogeleonick)

Rabu, 30 April 2014

AKTUALISASI KURIKULUM 2013

Hamid Muhammad, Ph.D.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar

Tentu kita pahami bersama bahwa dunia pendidikan saat ini sedang dilanda ujian berat. Persoalan mutu pendidikan, moralitas pendidik dan peserta didik, birokrasi yang belum memberikan pelayanan prima menjadi isu menarik (sorotan) di media massa dan masyarakat, belum lagi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan diminta untuk segera menyiapkan peserta didik unggul yang siap berkompetisi global. Oleh karena itu dibutuhkan perubahan paradigma dalam dunia pendidikan, dan perubahan kurikulum menjadi instrument strategis untuk mengubah paradigma sekaligus menghasilkan pendidik dan peserta didik yang diharapkan bersama.

Sudah menjadi pengetahuan kolektif bahwa Kurikulum 2013 lahir untuk menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Jika selama ini kurikulum KTSP lebih menekankan kecerdasan kognitif, beban mengajar dan belajar terlalu berat dan kurang bermuatan karakter, maka kurikulum 2013 hadir  untuk melengkapi kekurangan-kekurangan kurikulum-kurikulum sebelumnya, termasuk KTSP dan KBK. Atau dengan kata lain, ruh kurikulum 2013 akan dianalogikan seperti KTSP plus KBK plus Pendidikan Karakter plus lainnya. Mengapa demikian? Karena melalui kurikulum 2013 guru-guru tidak lagi direpotkan membuat silabus dan RPP, tetapi guru-guru lebih focus  mempersiapkan materi dan proses pembelajaran, sehingga efektivitas pembelajaran di kelas semakin meningkat dan menyenangkan. Selain itu, materi pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam mata pelajaran menjadi materi prioritas kepada peserta didik, sehingga ke depan pendidikan Indonesia menghasilkan peserta didik yang cerdas emosional, spiritual, dan intelektual. Dengan demikian, perubahan kurikulum 2013 hanya ingin menjadikan produk dunia pendidikan (peserta didik) lebih siap berkompetisi di masa depan yang semakin hari semakin menantang.

Dalam alam demokrasi seteri saat ini, setiap ide dan terobosan apapun pasti menghasilkan pro dan kontra, termasuk halnya kebijakan kurikulum 2013. Sejak disosialisasikan hingga saat ini, kurikulum ini terus menuai sorotan dari pelbagai kalangan, termasuk beberapa guru dan dosen. Meskipun demikian, niat baik harus dijalankan apapun resikonya, karena kalau bukan sekarang kita memulai, kapan lagi? Sebagian anak bangsa sudah terlalu banyak berteori, namun sebagian dari mereka masih miskin implementasi. Oleh karena itu dengan ucapan bismillah, saya rasa kurikulum 2013 segera diimplementasikan, apalagi ruhnya tidak ada yang tidak sepakat. Semua sepakat dan menyadari bahwa saat ini saatnya dunia pendidikan didesain menjadi lebih baik, kompetitif, maju, dan berkarakter menuju masyarakat global.

Sumber: Buletin Pelangi Edisi XIII/Oktober 2013


PEMBELAJARAN, PENILAIAN, DAN PENDAMPINGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Didik Suhardi, Ph.D.
Direktur Pembinaan SMP

Proses Pembelajaran dan Penilaian
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan kompetensi  sikap (spiritual dan sosial), pengetahuan (faktual, konseptual, dan procedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya), dan keterampilan peserta didik (kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret).

Sejalan dengan tujuan tersebut, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menggariskan bahwa pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga ranah tersebut secara utuh/holistic untuk melahirkan kualitas pribadi yang mencerminkan keutuhan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Untuk itu Standar Proses mengamanatkan diterapkannya metode saintifik dalam proses pembelajaran yang melibatkan langkah-langkah mengamati, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Langkah-langkah pembelajaran tersebut dapat dilanjutkan dengan kegiatan mencipta. Pengimplementasian metode saintifik tersebut diperkuat dengan penerapan metode pembelajaran lainnya dengan filsafat belajar konstruktivisme, antara lain discovery learning, project-based learning, problem-based learning, dan contextual teaching and learning.

Selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan (bahwa pendidikan mengembangkan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan) dan proses pembelajaran dengan metode-metode tersebut di atas, penilaian pendidikan mencakup pencapaian peserta didik dalam kompetensi sikap, pengetahuan dan penilaian dengan authentic assessment (yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan, proses, dan keluaran pembelajaran). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan menggariskan bahwa sikap dinilai dengan teknik observasi, penilaian diri, penilaian antarteman dan jurnal; pengetahuan dinilai dengan tes tulis, tes lisan, dan penugasan (termasuk proyek); dan keterampilan dinilai melalui tes praktik, projek, dan portofolio.

Penerapan metode saintifik dan/atau discovery learning yang didukung oleh penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan dengan authentic assessment, serta pelaporan prestasi peserta didik dalam buku rapor yang mencakup pencapaian sikap (spiritual dan social), pengetahuan dan keterampilan diyakini akan mendorong pengembangan tiga dimensi kompetensi peserta didik secara seimbang.

Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013

Untuk mendukung implementasikan Kurikulum  2013 di SMP, guru diberi pelatihan dengan durasi 6 (enam) hari dengan materi yang antara lain mencakup SKL, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, Standar Proses, Standar Penilaian, bahan ajae, buku guru, penyusunan RPP, dan praktik mengajar (micro-teaching). Pelatihan tersebut masih perlu dilanjutkan dengan pendampingan implementasi kurikulum di sekolah karena beberapa alasan. Pertama, walaupun telah mencakup materi-materi esensial implementasi Kurikulum 2013, karena durasinya hanya 6 (enam) hari, penguasaan peserta (guru) mengenai pengimplementasian Kurikulum 2013 kurang mendalam baik dalam aspek pengetahuan maupun keterampilan. Kedua, sementara bahan-bahan pelatihan Kurikulum 2013 disusun berdasarkan asumsi bahwa sekolah memenuhi Standar Nasional Pendidikan, kondisi pendidikan pada sekolah satu dan lainnya berbeda-beda. Kondisi SMP yang tersebar dari Sabang sampai Merauke bervariasi dari yang jauh di atas SNP hingga yang jauh di bawah SNP dengan peserta didik yang belum lancer atau bahkan belum dapat membaca dan berbahasa Indonesia dengan sumber belajar yang sangat terbatas. Selain itu, implementasi metode saintifik dalam pembelajaran dan penerapan authentic assessment  untuk mengukur kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara berimbang merupakan praktik inovasi pendidikan yang baru bagi guru.

Pendampingan implementasi Kurikulum 2013  akan memberikan sejumlah manfaat bagi sekolah, antara lain bahwa guru akan terbantu (sesuai kondisi sekolah masing-masing): pertama, memperoleh pengalaman yang baik mengenai pengimplementasian metode saintifik; kedua, memperoleh pemahaman yang baik mengenai  pengimplementasian teknik-teknik penilaian untuk mengukur pencapaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan; Ketiga, mereview dan memperbaiki RPP yang telah disusun guru sesuai ketentuan Kurikulum 2013; Keempat, merefleksi dan memperbaiki pelaksanaan pembelajaran sesuai ketentuan Kurikulum 2013; dan kelima, merefleksi dan memperbaiki pelaksanaan penilaian sesuai ketentuan Kurikulum 2013.

Minggu, 20 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari.

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.
Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab.
Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.
Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang.

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama.

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,

LN

Syawal Gultom: "Kurikulum 2013 ini adalah Rahmad bagi Guru TIK"

Oleh: M. Syaifullah

Dalam sesi tanya-jawab setelah paparan Prof. Syawal Gultom tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 kembali dipertanyakan nasib guru TIK di kurikulum 2013 oleh Sitti Patimah (Prov. Sulawesi Barat) salah satu peserta Penyegaran Narasumber Nasional Implementasi Kurikulum 2013 Region Surabaya 13-16 April 2014 lalu.

Berikut jawaban Prof. Syawal Gultom (Kepala BPSDMPK & PMP) menanggapi pertanyaan tersebut.

Tidak ada jam pelajaran TIK sebanyak di kurikulum 2013 dan tidak ada arah yang lebih jelas tentang TIK, kecuali kurikulum 2013.

Pertanyaannya sekarang, kenapa kebutuhan akan guru TIK itu sekarang semakin tinggi? Sebab seluruh mata pelajaran wajib menggunakan TIK. Apakah itu bahasa, agama, PKn, IPA, IPS dan seterusnya, wajib menggunakan TIK. Tapi TIK masing-masing punya kekhususannya. Tentu TIK matematika beda dengan TIK IPA, dengan TIK Bahasa begitu juga dengan mata pelajaran lainnya. Jadi bisa dibayangkan jumlah jam mengajar guru TIK banyak di kurikulum  2013, oleh karena itu kurikulum 2013 adalah rahmad bagi guru TIK, karena jam pelajaran akan banyak sekali.

Pertanyaannya: Bagaimana guru TIK yang sekarang mengajar prakarya? Dan bagaimana nasibnya guru TIK yang sekarang sertifikasinya TIK?
Jawabnya sederhana, kalau ada guru TIK yang bukan sarjana TIK dikembalikan ke akar S1 nya. Misalnya: guru TIK itu sebenarnya guru sarjana fisika, aktifnya selama ini menjadi guru TIK, nanti dalam proses 2 tahun ke depan, kita akan tata ulang, dia akan kembali ke fisika.
Bagaimana nasib sertifikasinya? Akan ada resertifikasi. Mulai tahun 2014 ini akan ada kouta resertifikasi. Jadi seperti yang saya bilang, guru TIK yang S1 nya fisika akan resertifikasi guru fisika. Tapi bagaimana nasibnya guru TIK yang latar belakang S1 nya TIK, bisa terus guru TIK mau di SMA atau di SMK. Jadi apa dia? Permennya sedang kita godok untuk menata guru TIK. Guru TIK akan memberikan layanan di sekolah. Tapi untuk siapa? Untuk murid dan guru. Guru-guru lain bisa belajar kepada dia, bagaimana mendesain pembelajaran berbasis TIK?. Jadi jam dia semakin banyak. Nggak usah susah-susah mencari jam mengajar 24 jam.

Jadi kurikulum 2013 itu rahmad bagi guru TIK. Oleh sebab itu jangan risau, karena nasib kita ini ada yang memikirkannya, jadi jangan risau terus.
Maka masa transisinya selama 2 tahun, kalau dapodiknya bermasalah itu yang akan kita perjuangkan, karena ada masa transisinya, sebab kalau diputus pun sekarang juga tidak ada aturannya. Dasarnya kan sudah disertifikasi TIK. Dulu dasarnya ada, oleh karena itu dalam menata hal tersebut ada masa transisinya.

Jadi jelas kan semua, guru TIK yang latar belakang TIK akan jalan terus untuk member layanan TIK di sekolah kepada guru, siswa, dan jangan-jangan ekstrakurikuler juga ada. Tapi guru TIK yang latar belakangnya bukan TIK akan kita kembalikan ke jalan yang benar (disambut tertawa hadirin).

Demikian jawaban Prof. Syawal Gultom, semoga dapat memberikan pencerahan bagi guru TIK yang selama ini risau dengan masa depannya. (iful)